Minggu, 11 Desember 2011

Etika Bisnis Iklan Permen Kopi

Etika Bisnis Iklan Permen Kopi

(Permen Kopi Ekspresso vs Permen Kopiko)

Akhir – akhir ini sangat banyak iklan – iklan yang saling menjatuhkan satu sama lain. Banyak iklan yang mempromosikan produk mereka dengan cara membandingkannya dengan produk saingannya. Ada beberapa iklan yang dianggap mengejek produk lain yang sejenis dengan produk mereka dengan cara menyindir (berupa kata-kata), menampilkan gambar produk lain(dengan sedikit disamarkan), merendahkan iklan produk saingannya(dangan cara mengutip kata-kata dari iklan produk tersebut). Bahkan ada beberapa iklan yang merendahkan produk sainggannya secara terang – terangan dengan menampilkan produk, logo atau merk produk saingannya secara jelas pada iklan mereka.

Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.

Salah satu contok iklan ditelevisi yang menurut saya melanggar etika bisnis adalah iklan permen kopi ekspresso. Didalam iklan tersebut dibintangi oleh dua orang bintang iklan si “A” yang memakan permen kopi “kosong” terlihat sangat bodoh karena tidak dapat menjawab pertanyaan dari temannya si “B” yang memberikan pertanyaan aneh: “Kenapa superman jubahnya di belakang ?”. Lalu si “B” menepuk pundak si “A” dan jatuhlah permen kopi “kosong” tersebut dengan bunyi yang nyaring, lalu si “B” berkata: “Pantesan makannya permen kopi-ko song sih..! Nih yang berisi Permen kopi pake isi”.

Ulasan :
Kalau dilihat dari iklan tersebut tampak sekali suatu nilai emosional yang ditonjolkan dan tidak menampakkan nilai etika dan edukasi sama sekali.
*Berikut di jabarkan “Permen kopi-ko song” :
Tampaknya kalimat tersebut jelas ingin menyindir saingan produk mereka, dari cara penyebutan dan pemenggalan serta pengucapan kata “kopi kosong” saja jelas kita dapat mengetahui merk apa yang mereka maksud. Pertanyaan aneh yang tidak bisa dijawab : ini seolah-olah seseorang terlihat bodoh karena memakan produk “permen kopi kosong”, padahal tidak ada hubungannya antara orang tersebut bisa menjawab atau tidak dengan permen yang ia makan.
*Kemudian bunyi yang nyaring ketika permen itu jatuh :
Kejadian ini seolah menjelaskan poin diatas bahwa tong kosong nyaring bunyinya, artinya produk yang mereka maksud tidak memberikan sesuatu manfaat apapun bagi konsumennya. Dari poin-poin diatas nampak sekali kalo nilai nilai emosi yang sangat ditonjolkan dalam iklan tersebut. Sehingga, dimana fungsi iklan sebagai informasi terhadap masyarakat tidak nampak dan tidak memberikan nilai edukasi apalagi hiburan.

Kesimpulan :
Persaingan antar perusahaan dalam memperkenalkan dan mengembangkan produknya kepada konsumen semakin ketat. Salah satu strategi pemasaran yang dilakukan adalah melalui pembuatan iklan. Sebaiknya perusahaan/orang yang akan membuat iklan dapat memikirkan ide yang lebih kreatif untuk mempromosikan produk/jasa mereka tanpa harus menjatuhkan produk/jasa saingannya. Beberapa konsumen ketika melihat iklan yang saling menjatuhkan, terkadang mereka malah mencelanya, bukannya malah bersimpati. Sebenarnya tanpa saling menjatuhkanpun, iklan yang menarik dan pas porsinya, dapat membuat konsumen justru malah menjadi penasaran dan ingin membelinya. Dan jika iklannya lebih beretika dan memandang norma yang ada di Indonesia ini, perusahaan dan produk pun malah terlihat tidak norak dan berwibawa. Justru iklan-iklan yang saling menjatuhkan terkadang malah mendapat pandangan negatif yang sebenarnya malah merugikan perusahaan itu sendiri.


Sabtu, 10 Desember 2011

Journal Ethics

Some Ethical Implications of Individual Competitiveness

Peter E. Mudrack • James M. Bloodgood • William H. Turnley


Abstract

This study examined some ethical implications

of two different individual competitive orientations. Winning

is crucially important in hypercompetitiveness,

whereas a personal development (PD) perspective

considers competition as a means to self-discovery and

self-improvement. In a sample of 263 senior-level undergraduate

business students, survey results suggested that

hypercompetitiveness was generally associated with ‘‘poor

ethics’’ and PD competitiveness was linked with ‘‘high

ethics’’. For example, hypercompetitive individuals generally

saw nothing wrong with self-interested gain at the

expense of others, but PD competitors viewed such activities

as largely inappropriate. Hypercompetitive people also

tended to be highly Machiavellian but not ethically idealistic.

In contrast, PD competitors tended to be ethically

idealistic but not Machiavellian. Managers that are

interested in both high ethics and high functioning work

groups may wish to consider the potential importance of

attempting to channel hypercompetitive tendencies into PD

directions.


Keywords

Competitiveness. Ethical judgments. Machiavellianism. Idealism



Competition refers to social comparisons involving an

unequal distribution of rewards or scarce resources deriving

from the relative performance of the participants in an

activity (Deutsch 1949; Stanne et al. 1999). When people

‘‘compete,’’ they are striving for something (such as position,

profit, or reward) or vying with another or others for,

or as if for, a prize (Webster’s Third New International

Dictionary, Unabridged). The extent to which individuals

desire or are suited to compete varies dramatically. Some

people seem to turn almost every situation into a competition

and others tend to be indifferent toward competition,

or even to avoid it whenever possible. Many authors refer

specifically to ‘‘trait competitiveness’’ (e.g., Fletcher and

Nusbaum 2008; Hibbard and Buhrmester 2010; Karatepe

and Olugbade 2009), or a ‘‘need to win’’ (e.g., Franken and

Brown 1996; Horney 1937) when discussing this construct,

and indeed competitive tendencies seem best conceptualized

as a stable personality trait (cf. Harris and Houston

2010) that influences how individuals behave across multiple

contexts, i.e., they are inclined in various degrees to

compete or to avoid competing.

Competitive differences have the potential to influence

ethics in almost all aspects of life (Ryska 2002). The

relationships between competitiveness and ethical orientations,

however, have not been explored fully from a

research standpoint. This study seeks to gain a deeper

understanding of some of these relationships. This seems

important and worthwhile because of the central role that

competitiveness plays in society generally (Horney 1937;

Kohn 1992) and business specifically. By its very nature,

business is competitive because organizations are vying

with various rivals to survive and profit in a marketplace.

Competitiveness, therefore, not only likely is taken-forgranted

as inevitable at the macro level of business, but

also seems to be viewed by many as desirable and normatively

correct at the individual level. As suggested by

Pfeffer and Sutton (2006, p. 64), ‘‘interpersonal competition

is expected, accepted, praised, and routinely encouraged

at work’’.

This view of competitiveness has been demonstrated in

numerous business organizations. For example, Harold

Geneen created a relentlessly competitive atmosphere at

ITT and produced an enviable record of growth (Morgan

2006). Enron prospered (for a time) and was populated by

‘‘corporate killers’’ who competed intensely against one

another and who even seemed willing to ‘‘stab’’ fellow

employees ‘‘in the back’’ (e.g., McLean and Elkind 2003,

p. 121). Goldman Sachs is noted for its record of success,

its apparent influence over public policy, and also its

intensely competitive ‘‘hard-knuckled and sharp-elbowed’’

atmosphere (McLean 2010, p. 86). The former CEO of

CompUSA once advised employees to consider coworkers

as enemies (Puffer 1999). Robie et al. (2005) reported that

outstanding salespeople are perceived to be characterized

by a desire to beat their colleagues or the competition.

Indeed, individual competitiveness seems associated with

high sales performance (Brown and Peterson 1994; Brown

et al. 1998; Robie et al. 2005; Wang and Netemeyer 2002).

In spite of the apparent perceived desirability and efficacy

of competitiveness in some business situations, such

an orientation also seems to have widespread negative

consequences. For example, decades of small group

research suggest that competition is more likely than

cooperation to produce undesirable outcomes such as

conflict, damaged relationships, and poor psychological

health (Glaman et al. 2002; Likert 1967; Tjosvold et al.

2006). Highly competitive individuals struggle in terms of

collaborating and getting along with, and being regarded

favorably by, others (Kohn 1992, Chap. 6; Morey and

Gerber 1995; Riskind and Wilson 1982; Tassi and

Schneider 1997), are inclined toward counterproductive

work behaviors (Dahling et al. 2009), and are poor contributors

to work teams (Tjosvold et al. 2008). Highly

competitive people rarely tend to be high performers,

whether the specific context is school (Bing 1999; Elliot

and McGregor 2001; Farmer 1985; Olds and Shaver 1980;

Schroth and Andrew 1987), or various tasks (Johnson and

Perlow 1992; Kline and Sell 1996) or jobs (Fletcher et al.

2008; Fletcher and Nusbaum 2010; Kirk and Brown 2003;

Helmreich et al. 1986), even that of astronaut (Musson

et al. 2004; Rose et al. 1994). Highly competitive nations

(as assessed by mean levels of citizen competitiveness)

tend to perform relatively poorly in terms of Gross

Domestic Product (Furnham et al. 1994) and national

wealth (Van de Vliert et al. 2000).

The question of why individual competitiveness often

seems desirable and worthwhile in the face of so much

disconfirming evidence, although interesting, is beyond the

scope of this investigation. The purpose of this article is to

shed light on some ethical implications of individual

competitiveness. Aforementioned tendencies toward undermining

coworkers (i.e., ‘‘enemies’’) at Enron, Goldman

Sachs, and CompUSA raise the possibility that high competitiveness

might be associated with poor ethics. After all,

if some individuals or organizations become overzealous in

the competitive struggle and focus exclusively on the

immediate prospect of winning, then they may be inclined

to do whatever it takes to win, including engaging in ethically

questionable behaviors (e.g., lies, cheating, espionage,

sabotage), regardless of the long-term damage

incurred by these.

Even if competitiveness sometimes leads to questionable

ethics, relationships with ethical orientations may not

be completely straightforward, as competitiveness seems

not to be a unidimensional construct (when assessed with

either the Work and Family Orientation (WOFO) scale

(Helmreich and Spence 1978) or the Competitiveness

Index (CI) of Smither and Houston 1992). Here, we focus

on two specific types of competitiveness identified in prior

research, that is, hypercompetitiveness and personal

development (PD) competitiveness. As discussed later,

these have different conceptual underpinnings and seem,

based on factor analytic techniques, to be distinct constructs

(Houston et al. 2002). Perhaps most importantly,

hypercompetitiveness and PD competitiveness may have

divergent ethical implications that might not be detected if

the competitiveness construct (and concomitant measure)

is treated as unidimensional.

http://www.springerlink.com/content/v32626613067k737/fulltext.pdf

Terjemahan :

Beberapa Implikasi Etis dari individu Daya Saing
Peter E. Mudrack • James M. Bloodgood • William H. Turnley

Abstrak
Penelitian ini memeriksa beberapa implikasi etis
dari dua orientasi yang berbeda kompetitif individu. Kemenangan
adalah sangat penting dalam hypercompetitiveness,
sedangkan perspektif (PD) pengembangan pribadi
menganggap persaingan sebagai sarana untuk penemuan diri dan
perbaikan diri. Dalam sampel dari 263 senior tingkat sarjana
mahasiswa bisnis, hasil survei menunjukkan bahwa
hypercompetitiveness itu umumnya terkait dengan''miskin
''etika dan daya saing PD dikaitkan dengan''yang tinggi
etika''. Sebagai contoh, individu kompetitif seperti umumnya
melihat ada yang salah dengan diri-yang tertarik mendapatkan di
mengorbankan orang lain, tetapi pesaing PD dilihat kegiatan seperti
sebagai sebagian besar tidak tepat. Kompetitif seperti orang juga
cenderung sangat Machiavellian tapi tidak etis idealis.
Sebaliknya, pesaing PD cenderung etis
idealis tapi tidak Machiavellian. Manajer yang
tertarik pada kedua etika yang tinggi dan bekerja berfungsi tinggi
kelompok mungkin ingin mempertimbangkan pentingnya potensi
mencoba untuk menyalurkan kecenderungan kompetitif seperti ke PD
arah.

Kata kunci
Daya Saing. Penilaian etis. Machiavellianism. Idealisme

Persaingan mengacu pada perbandingan sosial yang melibatkan suatu
tidak merata distribusi sumber daya yang langka imbalan atau berasal
dari kinerja relatif dari para peserta dalam sebuah
kegiatan (Deutsch 1949;. Stanne et al, 1999). Ketika orang
''Bersaing,''mereka berjuang untuk sesuatu (seperti posisi,
keuntungan, atau hadiah) atau bersaing dengan yang lain atau orang lain untuk,
atau seolah-olah untuk, hadiah (Ketiga Webster Baru Internasional
Kamus, Back to top). Sejauh mana individu
keinginan atau cocok untuk bersaing bervariasi secara dramatis. Beberapa
orang tampaknya untuk mengubah hampir setiap situasi dalam kompetisi
dan lain-lain cenderung acuh tak acuh terhadap persaingan,
atau bahkan untuk menghindarinya bila memungkinkan. Banyak penulis merujuk
khusus untuk saing sifat''''(misalnya, Fletcher dan
Nusbaum 2008; Hibbard dan Buhrmester 2010; Karatepe
dan Olugbade 2009), atau''perlu untuk menang''(misalnya, Franken dan
Brown 1996; Horney 1937) ketika membahas konstruksi ini,
dan memang kecenderungan kompetitif tampaknya terbaik dikonsep
sebagai suatu ciri kepribadian yang stabil (lih. Harris dan Houston
2010) yang mempengaruhi bagaimana individu berperilaku di beberapa
konteks, yaitu, mereka cenderung dalam berbagai derajat
bersaing atau untuk menghindari bersaing.
Perbedaan kompetitif memiliki potensi untuk mempengaruhi
etika dalam hampir semua aspek kehidupan (Ryska 2002). Para
hubungan antara daya saing dan orientasi etika,
Namun, belum dieksplorasi sepenuhnya dari
sudut pandang penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan lebih
pemahaman dari beberapa hubungan ini. Hal ini tampaknya
penting dan berharga karena peran sentral yang
saing bermain di masyarakat pada umumnya (Horney 1937;
Kohn 1992) dan bisnis khusus. Dengan sifatnya,
bisnis kompetitif karena organisasi yang bersaing
dengan berbagai saingan untuk bertahan hidup dan keuntungan dalam pasar.
Daya saing, karena itu, tidak hanya akan diambil-forgranted
sebagai tak terelakkan pada tingkat makro bisnis, tetapi
tampaknya juga akan dilihat oleh banyak orang sebagai yang diinginkan dan normatif
benar pada tingkat individu. Seperti yang disarankan oleh
Pfeffer dan Sutton (2006, hal 64), kompetisi antarpribadi''
diharapkan, diterima, dipuji, dan rutin mendorong
di''bekerja.

Pandangan daya saing telah dibuktikan dalam
banyak organisasi bisnis. Sebagai contoh, Harold
Geneen menciptakan suasana tanpa henti kompetitif di
ITT dan menghasilkan catatan iri pertumbuhan (Morgan
2006). Enron makmur (untuk waktu) dan dihuni oleh
''Pembunuh''perusahaan yang bersaing intens terhadap satu
lain dan yang bahkan tampaknya bersedia untuk menusuk''''rekan
karyawan''di belakang''(misalnya, McLean dan Elkind 2003,
hal 121). Goldman Sachs adalah dicatat untuk rekor keberhasilan,
yang jelas pengaruh atas kebijakan publik, dan juga yang
sangat kompetitif''keras-erat dan tajam-menyikut''
atmosfer (McLean 2010, hal 86). Mantan CEO
CompUSA pernah menyarankan karyawan untuk mempertimbangkan rekan kerja
sebagai musuh (Puffer 1999). Robie et al. (2005) melaporkan bahwa
penjual yang beredar adalah dianggap ditandai
oleh keinginan untuk mengalahkan rekan-rekan mereka atau kompetisi.
Memang, daya saing individu tampaknya terkait dengan
kinerja penjualan yang tinggi (Brown dan Peterson 1994; Brown
et al. 1998; Robie et al. 2005; Wang dan Netemeyer 2002).
Terlepas dari keinginan yang dirasakan jelas dan kemanjuran
daya saing dalam beberapa situasi bisnis, seperti
orientasi juga tampaknya memiliki luas negatif
konsekuensi. Sebagai contoh, beberapa dekade kelompok kecil
penelitian menunjukkan bahwa kompetisi ini lebih mungkin dibandingkan
kerjasama untuk menghasilkan hasil yang tidak diinginkan seperti
konflik, hubungan yang rusak, dan miskin psikologis
kesehatan (Glaman et al, 2002;. Likert 1967; Tjosvold et al.
2006). Sangat kompetitif individu perjuangan dalam hal
bekerja sama dan bergaul dengan, dan yang dianggap
baik oleh, orang lain (Kohn 1992, Bab 6;. Morey dan
Gerber 1995; Riskind dan Wilson 1982; Tassi dan
Schneider 1997), cenderung ke arah kontraproduktif
perilaku kerja (Dahling et al. 2009), dan kontributor miskin
untuk bekerja tim (Tjosvold et al 2008.). Sangat
orang kompetitif jarang cenderung berkinerja tinggi,
apakah konteks khusus adalah sekolah (Bing 1999; Elliot
dan McGregor 2001; Tani 1985; Olds dan cukur 1980;
Schroth dan Andrew 1987), atau berbagai tugas (Johnson dan
Perlow 1992; Kline dan Jual 1996) atau pekerjaan (Fletcher dkk.
2008; Fletcher dan Nusbaum 2010; Kirk dan Brown 2003;
Helmreich et al. 1986), bahkan yang dari astronot (Musson
et al. 2004; Rose et al. 1994). Sangat kompetitif bangsa
(Sebagaimana dinilai oleh tingkat rata-rata warga saing)
cenderung untuk melakukan relatif buruk dalam hal Bruto
Produk Domestik (Furnham et al, 1994.) Dan nasional
kekayaan (Van de Vliert et al. 2000).
Pertanyaan mengapa daya saing individu sering
tampaknya diinginkan dan berharga dalam menghadapi begitu banyak
disconfirming bukti, meskipun menarik, adalah di luar
ruang lingkup penelitian ini. Tujuan artikel ini adalah untuk
menjelaskan beberapa implikasi etis dari individu
daya saing. Tersebut kecenderungan-kecenderungan merusak
rekan kerja (yaitu,''musuh'') di Enron, Goldman
Sachs, dan CompUSA meningkatkan kemungkinan bahwa saing tinggi
mungkin berhubungan dengan etika yang buruk. Setelah semua,
jika beberapa individu atau organisasi menjadi bersemangat dalam
perjuangan kompetitif dan fokus secara eksklusif pada
prospek segera menang, maka mereka mungkin cenderung
untuk melakukan apa pun untuk menang, termasuk terlibat dalam etika
dipertanyakan perilaku (misalnya, kebohongan, kecurangan, spionase,
sabotase), terlepas dari kerusakan jangka panjang
dikeluarkan oleh ini.
Bahkan jika saing kadang-kadang menyebabkan dipertanyakan
etika, hubungan dengan orientasi etis tidak mungkin
benar-benar langsung, karena tampaknya daya saing
tidak menjadi membangun unidimensional (bila dinilai dengan
baik dan Keluarga Orientasi Kerja (WOFO) skala
(Helmreich dan Spence 1978) atau Daya Saing yang
Index (CI) dari Smither dan Houston 1992). Di sini, kita fokus
pada dua tipe tertentu dari daya saing diidentifikasi dalam sebelum
penelitian, yaitu, hypercompetitiveness dan pribadi
pembangunan (PD) daya saing. Seperti dibahas selanjutnya,
dasar-dasar konseptual ini memiliki berbeda dan tampaknya,
didasarkan pada teknik faktor analisis, menjadi konstruksi yang berbeda
(Houston et al. 2002). Mungkin yang paling penting,
hypercompetitiveness dan PD saing mungkin memiliki
implikasi etis yang berbeda yang mungkin tidak terdeteksi jika
konstruk saing (dan mengukur secara bersamaan)
diperlakukan sebagai unidimensional.

http://www.springerlink.com/content/v32626613067k737/fulltext.pdf

IKLAN MEGATRON


video


Apakah benar papan iklan (billboard/megatron) di jalanan sebagai salah satu penyumbang masalah visual kota, khususnya di Surabaya? Mengapa demikian? Ini merupakan pendapat pribadi saya mengenai papan iklan jalanan dan iklan-iklan mini yang ditempel sembarangan di sudut-sudut kota.
Papan iklan atau disebut juga billboard, yang terpampang di jalanan, secara umum menampilkan suatu produk terbaru hasil produksi perusahaan retail - manufaktur (dan sebagainya) raksasa di Indonesia. Baik itu papan iklan yang berukuran besar maupun yang berukuran kecil sekalipun. Sama halnya dengan megatron, menyampaikan pesan suatu produk, hanya saja megatron ini merupakan papan iklan elektronik yang berukuran relatif besar. Para pengusaha raksasapun sibuk berlomba-lomba memasarkan produk terbarunya melalui papan-papan iklan di jalanan tanpa mengindahkan lagi nilai-nilai estetika kota dan tata ruang kota.
Pada sisi lain, pemerintah kota memang diuntungkan. Suatu pemasukan yang besar bagi pemkot setempat. Namun, di sisi lain, tercipta suatu budaya negative bagi publik. Budaya konsumerisme! Publik terhipnotis untuk mengkonsumsi produk yang ditawarkan di papan iklan jalanan tersebut, padahal produk tersebut belum tentu dibutuhkan. Selain itu, bagi pihak perusahaan raksasa akan berlomba pula mengepakkan sayapnya untuk membangun unit bisnis di tempat yang lain, sekalipun harus membayar dengan harga mahal
Media luar ruang (outdoor advertising) bermacam banyak jumlahnya, ada istilah billboard advertising, baliho, megatron, videotron, neon box, pylon sign, spanduk, banner, dll. Namun pasti ada yang masih bingung mengenai istilah billboard, baliho, megatron, dan videotron. Walaupun hanya istilah, namun dari segi bentuk dan konstruksi sebenarnya ada beberapa perbedaan diataranya:
Billboard advertising.
Billboard adalah bentuk promosi iklan luar ruang (outdoor advertising) dengan ukuran besar. Bisa disebut juga billboard adalah bentuk poster dengan ukuran yang lebih besar yang diletakkan tinggi di tempat tertentu yang ramai dilalui orang. Billboard termasuk model iklan luar ruang yang paling banyak digunakan. Perkembangannya pun cukup pesat. Sekarang di jaman digital, billboard pun menggunakan teknologi baru sehingga muncullah digital billboard. Ada juga mobile billboard yaitu billboard yang berjalan ke sana ke mari karena di-pasang di mobil (iklan berjalan). Mobile billboard sendiri sekarang sudah ada yang digital mobile billboard.
Baliho.
Selain billboard, di Indonesia juga dikenal baliho. Perbedaannya terletak pada permanen atau tidaknya tempat billboard itu berdiri. Jika tempatnya (konstruksinya) sementara atau semi permanen maka billboard tersebut disebut baliho. Baliho bahannya bisa berupa kayu, logam, kain, fiberglas dan sebagainya. Isinya merupakan informasi jangka pendek mengenai acara (event) tertentu atau kegiatan yang bersifat insidentil.
Megatron.
Jika billboard tersebut sudah menggunakan tampilan elektronik dengan gambar yang bergerak maka namanya menjadi Megatron. Tapi jika gambar tersebut sumbernya video namanya videotron.



Menurut kami penempatan megatron ini tidak tepat karena ditempatkan tepat diatas toko yang berada tepat diperempatan jalan kertajaya, selain itu megatron ini menurut kami jika terjadi suatu kebakaran. Hal ini dapat membahayakan orang yang sedang melintas disana terutama toko tersebut. Seperti halnya yang pernah menimpa pada salah satu megatron yang ada di Surabaya yaitu di jalan basuki rahmat.

Beroperasinya Megatron di Jalan Basuki Rahmat itu tak pernah lepas dari masalah. Anggota dewan menentang media iklan elektronik tersebut. Penolakan juga sempat disampaikan oleh kepolisian dengan alasan bisa memicu kepadatan dan kecelakaan.
Namun, setelah melalui sekian rintangan, Megatron itu akhirnya beroperasi. PT Warna-Warni mampu mendapatkan perizinan. Termasuk izin dari Ditlantas Polda Jatim dalam surat bernomor 191/WWM-Dir/EXT/VII/2007. Surat itu ditandatangani mantan Wakil Direktur Lalu Lintas AKBP Aton Suhartono.
Selain aman dari sisi konstruksi, Junaedi menjamin bahwa Megatron tidak akan mengganggu ketertiban. Untuk urusan itu, PT Warna-Warni mengacu pada izin lama, yakni surat yang diterbitkan Polda Jatim dua tahun lalu. ''Megatron itu sempat beroperasi. Hasilnya, tidak ada kecelakaan seperti yang ditakutkan. Di sekitar JPO zero accident. Selain itu, Megatron tidak akan membuat mata silau,'' paparnya.
Belum lama beroperasi, Megatron tersebut kembali mendapat masalah yang lebih besar. Reklame dengan yang menampilkan produk rokok tersebut terbakar hebat pada Desember 2008. Setelah terbakar, pemkot memutuskan menutup sementara Megatron sampai ada kajian dari tim ITS.
Rencana pengoperasian kembali Megatron mendapat protes keras dari DPRD Surabaya. Mereka khawatir permasalahan bakal bermunculan. ''Jelas mengganggu pengguna jalan, kok mau dioperasikan kembali,'' ucap anggota Komisi C Zaenab Maltufah.
Zaenab mengkhawatirkan pandangan pengguna jalan terganggu akibat gambar di Megatron. Konsentrasi pengemudi kendaraan bakal terpecah. Lantas, kecelakaan pun bisa sewaktu-waktu terjadi.
Menurut dia, memang sudah ada kajian bahwa dari sisi konstruksi relatif aman. ''Namun, siapa yang berani menjamin? Makanya, saya tidak setuju dengan beroperasinya Megatron itu,'' tukas Zaenab.
Anggota Komisi B Yulyani berpendapat sama. ''Sejak awal kami sudah tidak setuju. Itu jelas mengganggu. Terutama pengguna jalan. Apalagi, JPO di Basuki Rahmat itu jarang digunakan orang untuk menyeberang,'' ujarnya.



Bila kami simpulkan ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan, sekedar untuk membukakan mata para stakeholder, dengan adanya papan iklan megatron di jalanan tanpa disadari akan :
1. menciptakan budaya konsumerisme di publik,
2. menciptakan ketidakamanan berlalu lintas di jalanan karena mata pengendara terpancing untuk membaca isi papan iklan yang menarik perhatiannya, atau terlena menonton iklan yang ditayangkan di megatron,
3. mempengaruhi perusahaan untuk ekspansi mencari lahan baru untuk memperbanyak unit bisnisnya dengan mengorbankan keseimbangan alam sekitar,
4. menciptakan image suatu kota yang komersil,
5. mempengaruhi tingkat keindahan wajah kota.

Pendapat kami adalah;
pesan-pesan iklan yang dipajangkan menyampaikan mengenai hal-hal positif yang membangun (peduli dengan sesama, peduli dengan lingkungan sekitar, pemerintahan yang good governance, mengingatkan publik untuk membayarkan pajaknya, dan sebagainya) dalam bentuk gambar misalnya. Gambar iklan yang positif yang disampaikan dipadukan dengan nama brand sponsor iklan tersebut. Banyak papan iklan yang berisi gambar yang menyampaikan pesan positif yang membangun kepada publik justru berukuran kecil dan letaknya pun tidak strategis, malah nyempil diantara papan iklan raksasa. Jadi jelas saja pesan yang disampaikan di papan iklan itu tidak terealisasi kepada masyarakat.

Daftar pustaka:
http://berita-terkini.infogue.com/megatron_basuki_rahmat_beroperasi_lagi_diprotes_dewan_

http://cvastro.com/beda-billboard-baliho-megatron-videotron.htm